Saturday, December 3, 2011

Pantulan Kaca Jendela

Aku menatap lekat dia. Gadis yang menggenggam luka. Kuselubungi tubuhnya dengan dongeng rekayasa. Tentang sungai tanpa dasar yang membuatnya tak merasa apa-apa. Menghanyutkan tubuhnya yang gamang tanpa asa. Ia bilang akan kembali dengan membawa ibunya. Aku terbata mencegahnya. Gadis itu pecah seperti boneka porselen yang diadu dengan baja. Tangisku meronta-ronta, berapa kalipun kukumpulkan serpihannya, tanganku menggapai sesuatu yang tak ada. Dia sudah kembali ke asalnya. Dunia dimana teriakan adalah lagu pengantar tidurnya, cacian adalah puisi-puisi yang ditelaahnya, dan kebohongan adalah selimut nyaman penyamar yang berencana membunuhnya. 
Seharusnya aku menjadi kekasihnya. Merajut tubuhnya dari benang rahasia. Ringan dan tak hancur dilawan baja. Tapi aku menipunya dengan sengaja. Menyelubungi tubuhnya dengan dongeng rekayasa. Tentang sungai tanpa dasar yang membuatnya tak merasa apa-apa. Menjejali mimpinya dengan kenaifan terbungkus pita. Tentang cinta apa adanya.


Aku menatap lekat dia. Gadis yang menggenggam luka. Mendewasa dan menua. Tersenyum lemah padaku di pantulan kaca jendela.

No comments:

Post a Comment